Hidup adalah pilihan. Hal itulah yang menjadi prinsip para mahasiswi, yang terjerumus menjalani profesi kelam sebagai ‘ayam kampus’. Julukan itu diberikan kepada para mahasiswi yang menjadi pekerja seks komersial.
Tak bisa dipungkiri, gaya hidup kadang mendorong seseorang untuk berbuat lebih di luar batas. Seperti yang diungkapkan Melati (bukan nama sebenarnya), yang rela menjadi ayam kampus untuk memenuhi uang jajan dan gaya hidupnya.
Yup, bukan alasan ekonomi untuk bantu keluarga yang mengharuskan Melati menjadi pekerja seks komersial ketika mahasiswi. Tapi, Melati menggunakan penghasilan ‘gelapnya’ itu untuk jajan. Dia membeli barang-barang bermerek, gadget, hingga kongkow bareng teman
Ditemui JawaPos.com beberapa waktu lalu, pertama kali melakoni ‘ayam kampus’ ketika usia menginjak 20-an. Seingetnya, ia sudah melayani belasan laki-laki saat menjalani profesi ‘ayam kampus’.
“Saya pikir awalnya asyik juga hanya begitu tapi bisa dapat uang cepat. Kalau ditanya jumlah prianya, saya enggak pernah hitung. Sepertinya belasan, karena saya enggak selalu tiap bulan sih. Paling kalau lagi butuh uang jajan saja,” kata Melati kepada JawaPos.com baru-baru ini.
Dirinya bahkan pernah jatuh cinta kepada pelanggannya. Dia juga pernah dibayar tinggi dengan menggunakan mata uang Dolar karena mendapatkan pelanggan orang asing.
“Orang asing itu baik banget. Saya dikasih Rp 6,5 juta tiap melayani. Padahal rata-rata saya patok Rp 1 juta untuk yang lain,” ungkapnya.
Cerita yang sama diungkapkan oleh Mawar, bukan nama sebenarnya. Alumni mahasiswi kampus swasta itu juga sempat menjalani profesi gelap sebagai ayam kampus. Mawar menjalaninya karena dulu pernah diperkosa oleh tukang ojek langganannya saat SMA.
“Dulu masa lalu saya sudah hancur karena tukang ojek. Lalu ada teman yang mengajak di kafe dan diskotik, saya bersedia saja sudah kepalang basah. Buat uang jajan sih, bukan buat uang kuliah,” jelas Mawar.
Dia pun sempat menjadi ‘simpanan’ om-om selama 2 tahun. Namun setelah itu, dia melanjutkan profesi sebagai ayam kampus. Setiap kali melayani pelanggan saat itu, Mawar mematok harga Rp 1,5 juta.
“Saya sekarang sudah tidak lagi menjalani profesi itu. Sudah mau jadi orang yang lebih baik. Saya sudah menikah saat ini,” ungkap Mawar.
Ditemui di tempat berbeda, Pegiat HIV AIDS dari Yayasan Kaki Denies Eka Saputra mengatakan prihatin karena masih ada anak muda yang terjerumus menjadi ‘ayam kampus’ karena pilihan hidup. Namun banyak juga yang terjerumus karena ulah predator.
Berdasarkan Yayasan Kaki, sebanyak 4 dari 10 perempuan memilih profesi sebagai ‘Ayam Kampus’ dan justru paling banyak saat ini memilih sebagai ‘simpanan’ para sopir angkot, yaitu 6 dari 10 perempuan.
Gaya hidup bisa menjerumuskan seseorang jika memang sudah gelap mata. Sehingga profesi ‘Ayam Kampus’, kata dia, menjadi salah satu target sasaran edukasi untuk mencegah penularan HIV AIDS.
“Sisi gelap itu memang ada dan dekat di sekitar kita. Tak bisa menutup mata bahwa gaya hidup bisa membuat para mahasiswi ini gelap mata. Kami selalu berikan edukasi agar memperhatikan sisi kesehatan. Mereka juga terus didorong untuk berani ikut tes HIV AIDS,” jelas Denies.
(ika/JPC)