JAKARTA, Keluarga Waluyo (63) kini bisa kembali bernapas lega setelah Polda Metro Jaya menetapkan tersangka pada tiga mafia tanah yang terlibat dalam pemufakatan jahat untuk melahap tanah mereka.
Keadilan akhirnya berpihak pada mereka setelah diteror tersangka berinisial AS alias ‘Pak Haji’, yang berlindung di balik sertifikat kepemilikan palsu buatan dua tersangka dari lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Keluarga Waluyo menempati lahan seluas 2.000 meter persegi di daerah Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Selama kurang lebih 30 tahun, lahan dikuasai, antara lain, dengan bukti surat kepemilikan akta jual beli, surat kepemilikan fisik, dan surat keterangan riwayat tanah.
Lahan itu dipakai untuk membangun rumah keluarga, serta tempat tinggal pekerja dan usaha mereka di bidang logistik.
Suatu hari di akhir 2019, Waluyo mendapat somasi dari AS.
Ia berdalih sebagai pemilik sah dari lahan yang ditempati oleh korban, termasuk jalan, dan lahan permukiman penduduk yang total luasnya mencapai 4.500 meter persegi.
Somasi didukung dengan akta jual beli sejak 2016, padahal ia sama sekali tidak menempati lahan itu.
Pada awal 2020, AS melalui kuasa hukumnya kembali berupaya merebut lahan Waluyo dengan menunjukkan lima sertifikat kepemilikan tanah fisik yang dimilikinya dari program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Namun, keluarga Waluyo menemukan adanya cacat administrasi dalam prosedur PTSL setelah mereka memverifikasi pengajian pembuatan sertifikat ke RT, RW, hingga kelurahan.
‘Dari sertifikat itu juga kami menemukan pengukuran tanah pada tanggal 1 bulan 1 2020, yang mana hari libur dunia. Lalu, surat itu terbit pada tanggal 9 Januari. Dari sini juga sudah aneh,’ kata Arif Suseno (35), salah satu anak Waluyo, dilansir Kompas.id, Senin (18/7/2022).
Tidak berhenti di situ, AS juga sempat meminta ganti rugi kepada korban sebesar Rp 600 juta berdasarkan akta jual beli.
Menurut penghitungan pihak AS, harga sewa tanah yang keluarga Waluyo tempati dihargai Rp 200 juta.
Mereka pun diminta segera meninggalkan lahan tersebut oleh pihak AS. Rasa malu yang dipicu kelicikan AS pun menghujam keluarga Waluyo.
‘Ayah saya bahkan sempat dilaporkan ke polisi di Jakarta Utara dan sudah sampai lidik. Saya kecewa karena penyidik hanya melihat sertifikat saja tanpa mencari tahu prosesnya. Tapi, saya lihat polisi masih menahan laporan itu. Saya juga terus berkomunikasi ke polisi agar berhati-hati dengan kasus ini,’ tutur Arif.
Pada Januari 2021, keluarga Waluyo memberanikan diri melapor ke Polda Metro Jaya.
Selama laporan itu diproses hingga tahun ini, pihak BPN mencoba memediasi pihak keluarga Waluyo dengan AS, tepatnya di awal 2022.
‘Kita dari awal enggak mau muluk-muluk, cuma mau hak kami dikembalikan, cuma dalam proses mediasi yang diprakarsai pihak BPN itu tidak ada titik temu. Saya melihat BPN seperti menyepelekan, lama enggak menyelesaikan karena mereka mengandalkan itikad AS. Jadi, (BPN) enggak punya komitmen jelas,’ ujarnya.
Kegelisahan itu pun tidak lama kemudian dibalas dengan polisi yang menetapkan status tersangka terhadap AS dan dua pegawai BPN, yaitu MB selaku Ketua Tim Adjudikasi PTSL BPN Jakarta Utara dan EB petugas pengukur tanah.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Hengki Haryadi menjelaskan, pengungkapan ini dibantu Satuan Tugas Antimafia Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Ia menjelaskan, MB menerima uang ratusan juta rupiah untuk menerbitkan sertifikat tanah tanpa prosedur yang benar.
Padahal, program PTSL yang dicanangkan Presiden Joko Widodo sejak 2018 itu seharusnya gratis. Namun, uang suap itu disebut tidak hanya dari AS.
Fenomena mafia tanah yang dilakukan secara sistematis untuk mendukung peralihan atau perebutan kepemilikan tanah, menurut Hengki, kini bergeser.
Jika biasanya mereka bermain dalam proses jual-beli, kini para mafioso bermain dalam proses penerbitan sertifikat kepemilikan.
Mirisnya, proses ini dibantu langsung oleh pegawai BPN seperti MB dalam kasus keluarga Waluyo.
Keterlibatan pegawai BPN juga baru-baru ini terungkap dalam sejumlah kasus mafia tanah lainnya yang ditangani kepolisian.